Kegagalan bendungan adalah keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan atau bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya bendungan. Kegagalan bendungan merupakan peristiwa yang sangat mengerikan, sebab dampak yang ditimbulkannya amat dahsyat.
Berikut beberapa kegagalan bendungan terburuk di dunia, dua di antaranya terjadi di Indonesia. Urutan peristiwa kegagalan bendungan disusun berdasarkan banyaknya jumlah korban manusia yang tewas (dimulai dari yang terbanyak) sebagai gambaran betapa dahsyatnya akibat dari kegagalan bendungan.
1.Bendungan Ban Qiao, China
Bendungan Ban Qiao yang terletak di provinsi Hainan atau 750 km sebelah barat Sanghai ini mulanya diklaim pemerintah China sebagai bendungan yang kuat, tak bisa dihancurkan, dan diklaim mampu menahan banjir bandang yang datang setiap 1.000 tahun (curah hujan 300 mm/hari) di China. Pembangunan bendungan dimulai April 1951 dengan konsultan dari Uni Soviet (sekarang Rusia) dan selesai Juni 1952.
Bendungan Ban Qiao di atas Sungai Ru dibangun untuk mengendalikan banjir, sebagai respons atas banjir parah di DAS Huai pada 1949 dan 150, sekaligus pembangkit tenaga listrik. Bendungan yang pertama dibuat dari konstruksi tanah liat setinggi 24,5 meter. Namun begitu bendungan selesai dibangun dan difungsikan, bagian bendungan dan pintu air mengalami keretakan.
Pada Agustus 1975 kawasan Hainan diterpa badai Super-typhoon Nina yang mencurahkan air hujan sangat lebat, 1.060 mm dalam satu hari, jauh melebihi curah hujan tahunan yang rata-rata 800 mm. Menurut para pakar iklim di China, hujan yang turun dalam sehari tersebut merupakan hujan yang terjadi sekali dalam 2.000 tahun.
Hujan sangat lebat itu menyebabkan permukaan air Sungai Hong, induk sungai Ru, di kota Zhumadian, meninggi. Pada 6 Agustus 1975, permintaan untuk membuka bendungan ditolak. Esoknya permintaan diterima namun komunikasi gagal mencapai bendungan akibat terputusnya kawat penghubung (telex). Pada 8 Agustus 1975, anak bendungan Shi Man-tan yang dirancang untuk menahan banjir yang terjadi 1 dalam 500 tahun gagal membendung luapan air yang datang 2 kali lipat.
Setengah jam kemudian, air menjebol bendungan Ban Qiao yang diikuti jebolnya 62 bendungan lain di sekitarnya. Luapan air yang dilepaskan bendungan Ban Qiao mencapai total 15,738 miliar m3 air dan menghasilkan gelombang selebar 10 kilometer setinggi 3-7 meter di Sui Ping yang kemudian menerjang ke dataran di bawahnya dengan kecepatan 50km/jam, menenggelamkan hampir sepanjang 55 km dengan lebar 15 km dan langsung menciptakan danau dadakan raksasa.
Kegagalan bendungan Ban Qiao menyebabkan 26.000 orang tewas seketika, dan 145.000 orang lainnya tewas di kemudian hari akibat berbagai penyakit pascabanjir bandang dan kelaparan. Tapi data korban yang dirilis pemerintah China itu diragukan, mengingat masih banyaknya korban yang tak terdata.
Diperkirakan jebolnya Bendungan Ban Qiao menewaskan 230.000 orang. Konstruksi yang buruk dan kurangnya jumlah pintu regulasi air, disebut-sebut turut memicu runtuhnya bendungan Ban Qiao yang kokoh tersebut ketika diterpa badai.
2. Bendungan Vajont, Italia
Bendungan Diga del Vajont (Vaiont) yang terletak di lembah Sungai Vajont, bagian pegununungan Alpen, merupakan bendungan yang dibangun di ketinggian pegunungan dengan cara membendung aliran Sungai Vajont di kaki gunung Monte Toc, dan tercatat sebagai bendungan tertinggi di dunia kala itu dengan ketinggian bangun bendungan utama 262 meter.
Dirancang oleh Carlo Semenza dan pembangunannya dikerjakan selama 3 tahun (1957-1960) oleh perusahaan swasta, Societa Adriatica del Elettricita, untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik industri-industri di Italia Utara dan Italia Timur Laut yang porak-poranda pascaperang dunia II. Tahun 1962, bendungan Vajont dinasionalisasi dan pengelolaannya diambil alih pemerintah Italia.
Bendungan Vajont dibangun 875 kaki di atas Sungai Piave dengan lebar 75 kaki. Bendungan yang terletak 10 mil timur laut Belluno itu merupakan waduk yang sangat besar. Lebih dari 300 ribu kubik air ditampung dalam bendungan tersebut.
Meski kokoh, megah, dibangun dengan anggaran sangat besar, dan dikerjakan oleh para insiyur terbaik di negeri Italia ketika itu, Bendungan Vajont dibangun di lokasi yang salah. Kontur tanah di kawasan lembah Monte Toc itu dikenal tidak stabil. Para warga setempat sudah memperingatkannya, tetapi tak diindahkan.
Pada November 1961, lereng gunung Monte Toc longsor membawa material tanah sebanyak 700.000 m3 ke area waduk. Kejadian itu diatasi hanya dengan menurunkan level air waduk sebesar 25% untuk mencoba menstabilkan bagian lereng gunung yang belum longsor. Sebuah terowongan memotong dibangun untuk menyelamatkan Bendungan Vajont. Langkah itu berhasil memperlambat tingkat pergeseran tanah.
Dirasa cara itu berhasil, pada musim panas tahun 1962, level air waduk kembali di naikkan ke ketinggian semua, 180 m. Terjadi pergeseran tanah, tapi dalam tingkat rendah. Pada tahun 1963, ketinggian air waduk kembali dinaikkan ke level 230 meter lalu ke 245 meter di bulan Agustus 1963 dan kembali memicu pergeseran tanah 3,5 cm/hari.
Ketinggian air waduk kembali diturunkan ke level 235 cm, tetapi langkah itu sudah terlambat. Kecepatan pergeseran tanah terus meningkat dan memasuki awal Oktober pergeseran tanah mencapai 20 cm/hari.
Pada 9 Oktober 1963 sekira pukul 22.39, sebagian gunung Monte Toc runtuh, meluncurkan 270 juta m3 material tanah gunung ke waduk dengan kecepatan 110 km/jam. Longsoran gunung Monte Toc memicu terjadinya tsunami setinggi 200 meter, menghempaskan 30 juta meter kubik air waduk hingga melintasi bangunan bendungan Vajont yang berketinggian 262 meter (overtopping), lalu menerjang dan menghancurkan sejumlah pemukiman di lembah Sungai Piave (Langarone, San Martino, Pirago, Rivalta, Villanova, Fae, dan Codisago).
Tercatat 1.910 orang tewas seketika, lebih dari 1.000 unit rumah hancur, dan memaksa lebih dari 5.000 warga mengungsi ke tempat aman.
Bencana bendungan Vajont menjadi sejarah kelam dalam industri konstruksi di Italia. Sejak peristiwa 9 Oktober 1963 tersebut hingga sekarang, bendungan Vajont tak lagi dioperasikan. Bangun utama bendungan itu masih berdiri kokoh hingga saat ini. Insinyur proyek bendungan, Mario Pancini, bunuh diri ketika perkara bencana Bendungan Vajont itu akan disidangkan di pengadilan. (Hasanuddin/bersambung)
3. Bendungan St Francis, Amerika Serikat
Bendungan Saint Fransiskus dibangun karena Sungai Los Angeles tidak mampu memenuhi kebutuhan air warga Los Angeles, California, Amerika Serikat. Selain itu, air di Danau Owens cepat mengering. Disain dan konstruksi bendungan St Fransiskus dibuat oleh William Mulholand, yang sebelumnya sukses membangun bendungan Mulholand, juga di Los Angeles. Karenanya, dalam membangun bendungan St Fransiskus, William Mulholand benar-benar mengadopsi bendungan yang sebelumnya dibuat, bendungan Mulholand.
Pada hari Senin tanggal 12 Maret 1928, bendungan St Fransiskus runtuh dan menggelontorkan 24 juta m3 air yang langsung menerjang lembah Santa Clara dan menenggelamkan kota Santa Paula setinggi 6 meter. Banjir bandang akibat runtuhnya bendungan St Fransiskus tersebut menewaskan setidaknya 450 orang, termasuk 42 anak sekolah.
Hasil investigasi yang dilakukan kemudian hari menyimpulkan, bencana runtuhnya bendungan St Fransiskus ini murni kesalahan William Mulholand yang menyepelekan bahan dasar konstruksi bendungan dan kondisi geografis wilayah di mana bendungan itu dibangun. Kondisi geologi dari lokasi dibangunnya bendungan St Fransiskus berada pada wilayah paleomega landslide, yaitu tekstur tanah bebatuan yang labil.
Bencana itu dipicu dari retakan pada struktural tambahan guna meningkatkan kapasitas air. Akibatnya bebatuan di bawah bendungan menjadi tidak stabil sehingga membuat bendungan pecah. Pada pagi hari sebelum bencana terjadi, ada laporan tentang kebocoran baru yang mengindikasikan air yang menggerus pondasi bendungan, akan tetapi Departemen Air dan Listrik sebagai pengelola bendungan St Fransiskus, menganggap bendungan aman-aman saja.
4. Bendungan Sempor, Indonesia
Kegagalan bendungan yang mengakibatkan banyak korban jiwa, juga terjadi di Indonesia. Bendungan Sempor yang berlokasi di Desa Sempor, Kecamatan Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, pernah jebol pada 27 November 1967, menyebabkan banjir bandang dan mengakibatkan 127 orang tewas.
Kegagalan bendungan itu terjadi ketika bendungan Sempor belum dibangun sempurna alias masih dalam tahap pengerjaan. Bagian bendungan yang jebol adalah cofferdam yang berupa timbunan tanah akibat meluapnya limpasan air melalui puncak bendungan (overtopping).
Pembangunan bendungan Sempor sudah dimulai ketika pada tahun 1916, pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan Sempor sebagai lokasi yang tepat untuk pembangunan sebuah waduk untuk kepentingan irigasi pertanian di kawasan tersebut. Serangkaian penelitian sudah dilakukan, namun Belanda tak pernah merealisasikan pembangunan bendungan di Sempor.
Ketika Indonesia merdeka, hasil penelitian Belanda di Sempor itu dilanjutkan para ahli Indonesia pada 1950 yang kemudian membuat disain dan rancangan pembangunan sebuah bendungan di Sempor. Pembebasan lahan mulai dilakukan. Pada tahun 1958, pembangunan fisik Bendungan Serbaguna Sempor dimulai melalui Proyek Sempor. Bendungan Sempor dibangun di DAS Sungai Jatinegara atau disebut juga Sungai Sempor dan Sungai Cicingguling.
Ketika proyek pembangunan Bendungan Serbaguna Sempor belum selesai, terjadi kegagalan bendungan pada tahun 1967. Bendungan Sempor itu sendiri baru rampung tahun 1978 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Sebagai pengingat akan peristiwa yang terjadi tahun 1967 kala waduk masih dalam proses pembuatan, di lokasi Waduk Sempor terdapat sebuah monumen yang diresmikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik saat itu Prof Dr. Ir Sutami pada Maret 1978.
5. Bendungan Gintung, Indonesia
Kasus kegagalan bendungan Gintung (lebih dikenal dengan sebutan Situ Gintung) yang berlokasi di Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, menjadi kisah kelam dunia konstruksi bendungan Indonesia di era millennial. Informasi jebolnya Situ Gintung dengan cepat menyebar dan dalam tempo singkat, peristiwanya sudah disiarkan secara langsung oleh sejumlah televisi swasta.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jumat tanggal 27 Maret 2009 sekira pukul 02.00 dinihari. Hujan lebat yang mengguyur kawasan Ciputat Timur sepanjang Kamis (26/3/2009) menyebabkan permukaan air di Situ Gintung yang berada di anak Sungai Pesanggrahan, meninggi sehingga menyebabkan limpasan air di atas bendungan dan erosi permukaan bendungan.
Salah satu ketua RT setempat sudah memberikan peringatan kepada warganya agar waspada. Begitu pula dengan petugas kepolisian dari Polsek Ciputat yang datang ke lokasi setelah mendapat laporan dari warga, juga memberikan peringatan yang sama kepada para warga setempat. Hujan pun reda pada Kamis tengah malam dan para warga kembali ke peraduannya. Sementara petugas dari kepolisian pun kembali ke markasnya karena menganggap situasi sudah aman.
Pada Jumat (27/3/2009) menjelang subuh, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari arah Situ Gintung. Bendungan Situ Gintung setinggi 10 meter itu runtuh, menumpahkan sekitar 1 juta m3 air yang langsung menerjang permukiman warga yang berada di bawah bendungan. Dalam hitungan menit, sekitar 400 rumah di Kampung Gintung, perumahan Cireundeu Permai, Kampung Poncol, dan sebagian kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, tergenang air dengan ketinggian bervariasi antara 1 meter hingga seatap rumah.
Warga yang sebagian besar masih terlelap dalam tidurnya, sama sekali tak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Bencana Bendungan Gintung menewaskan sekitar 100 orang, merusak sekitar 400 rumah, dan memaksa ratusan warga mengungsi ke tempat aman.
Satu tahun sebelum peristiwa tersebut, sudah ada laporan-laporan mengenai kerentanan bendungan namun tidak ada tindak lanjut untuk mengurangi risiko kegagalan bendungan. Petugas dari Kementerian PUPR pada 2008 sudah melakukan pengecekan ke Situ Gintung, tetapi tidak menemukan adanya kelainan fisik, sebagaimana dilaporkan.
Pada 5 Desember 2008, sejumlah peneliti dari BPPT yang melakukan pengamatan lapangan ke Situ Gintung, menemukan adanya retakan dan rembesan air di salah satu sudut bendungan Gintung bagian hilir. Temuannya itu diteruskan ke Kementerian PUPR, yang kemudian menyatakan bahwa bagian hilir bendungan masih bagus dan layak. Perbaikan Situ Gintung kemudian dilakukan di bagian hulu.
Bendungan Gintung merupakan bendungan yang dibangun pada zaman Belanda, yaitu dibangun pada 1932 dan selesai tahun 1933, untuk kepentingan irigasi persawahan di kawasan tersebut dengan luas 32 ha dan berkedalaman 10 meter. Namun seiring perkembangan zaman, areal persawahan menghilang, tergusur oleh pemukiman penduduk. Luas lahan waduk pun menyusut menjadi 21,4 ha dengan kedalaman sekitar 4 meter. Fungsi waduk juga berubah, dari waduk irigasi menjadi area konservasi air dan obyek wisata.
Dari beberapa kasus gagalnya bendungan dalam menampung volume air yang cukup tinggi, dapatlah pelajaran yang mungkin bisa kita ambil. Mulai dari tidak meremehkan kontur tanah yang labil, hingga menempatkan bendungan pada lokasi yang benar. Untuk mengatasi kerusakan bendungan, maka diperlukan pemantauan pada bangunan bendungan dan lingkungan sekitarnya. Seperti tanah pada bagian bendungannya yang berpotensi mengalami longsor lereng (sliding). Untuk memantau tanah bendungan yang memiliki bentuk kemiringan, maka dibutuhkan alat pemantauan tanah yang dapat memantau di kemiringan seperti Inclinometer.
Inclinometer adalah alat konstruksi yang berguna untuk menganalisa kemiringan pada tanah, khususnya pada tanah bendungan yang memiliki kemiringan. Instrument inclinometer ini dipasang untuk memonitoring suatu pergerakan kearah horizontal di dalam lapisan tanah atau batuan. Pipa aluminium atauplastik yang mempunyai 4 alur bersudut antara 90 derajat dipasang didalam lubang bor, atau pada tahapan penimbunan tanah, atau pada bidang suatu struktur.
Pengukuran dengan inclinometer dilakukan dengan menggunakan torpedo yang mempunyai 4 roda dan dimasukkan ke dalam alur pipa inclinometer, bagian atas torpedo dihubungkan dengan kabel sensor. Yang diukur adalah signal elektrinik dari servo-accelerometer yang menunjukan kemiringan torpedo tersebut terhadap garis vertikal, pada interval panjang/kedalaman pembacaan tertentu (biasanya antara 0,05 – 1,0 m).
Dengan menjumlahkan deviasi horizontal dari hasil pembacaan dengan rentang jarak setiap 0.5 m atau 1.0 m, maka dapat digambarkan kurva deformasi dengan skala tertentu dan waktu tertentu yang selanjutnya dibandingkan antara kurva-kurva terdahulu dengan kurva yang dihasilkan saat ini, sehingga dari pengukuran dapat diketahui arah deformasi tanah di sepanjang tabung inclinometer tersebut. Dengan menggunakan data logger, hasil pembacaan/pengukuran langsung dapat diperoleh dilapangan yang hasilnya seperti gambar dibawah ini.
Pada pemasangan pipa inclinometer melalui lubang bor, ruangan antara pipa dengan dinding harus diisi dengan semen grout atau pasir/bontonite, sedangkan pada penimbunan tanah (bendungan) perlu dilakukan pemadatan yang cermat di sekitar pipa-pipa tersebut, serta harus hindari benturan dari alat berat selama pekerjaan berlangsung.
PT Global Intan Teknindo sebagai perusahaan yang bergerak pada bidang system dan monitoring system. Kami menjual alat Inclinometer. Jika anda berminat untuk membeli produk yang disediakan oleh Global Intan Teknindo, silahkan anda langsung hubungi kami melalui :
PT. Global Intan Teknindo
- Alamat: Jl. Pd. Kelapa Raya No.11, RT.1/RW.4, Pd. Klp., Kec. Duren Sawit, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13460
- Whatsapp / Email : Hubungi Kami
- Telp : 021-2284-3662
- Melalui Live Chat yang berada di pojok kanan bawah halaman website
- Untuk Melihat Produk Lainnya bisa Klik Disini
Sumber : https://cepagram.com/index.php/2021/07/28/7-kegagalan-bendungan-besar-terburuk-di-dunia/